Politik Itu Bukan Sepakbola, Bung!


Tumbuh di antara dua laki-laki penggemar Sepak Bola membuat saya sedikit memahami rasa cinta penggemar sepak bola. Mungkin tidak semaniak saya terhadap K-Drama ataupun K-Pop, bahkan bisa dibilang saya cuma "pengamat" penggemar Sepak Bola. Saya sendiri lebih kuat melek ketika melihat K-Drama dibandingkan ketika harus begadang karena pertandingan bola. Mata saya biasanya kriyep kriyep sambil terus bertanya sama si Adek, berapa skornya?. Pertanyaan itu biasanya diakhiri dengan kalimat "Ngaliho ae mbak, turu kono lho" yang artinya pergi mbak, tidur sana. Saya pun menyingkir sambil menggigit dan memeluk guling kesayangan.

Piala Dunia kali ini agak berbeda karena datangnya bersamaan dengan pilpres di Negara ini. Seorang teman mengeluh di ujung telepon, gegap gempita Piala Dunia kurang terasa. Kami berdua menyimpulkan karena stasiun TVnya yang kurang menyajikan interface dengan baik, berbeda dengan stasiun TV terdahulu, sebut saja si R yang benar-benar total ketika menyiarkan piala dunia. Total disini karena si R mengemas Piala Dunia menjadi kesatuan tidak hanya menyajikan pertandingannya saja. Segala pernak-pernik, nonton bareng, bahkan iklannya pun lebih banyak. Kalau teman-teman amati si R bahkan mengemas acara lain menjadi bagian dari piala dunia, begitulah Piala Dunia yang dulu. Kalau yang sekarang Piala Dunia diselingi dengan Debat Pilpres, bukan cuma debat antar capresnya tapi juga pendukungnya bikin pusing dan mual saja.

Sebagai orang Indonesia yang selalu bilang “untung saja” , kita wajib juga mengatakan “untung saja” masih disiarkan TV lokal coba kalau TV kabel, bisa berabe deh. Meskipun kecewa, sebagai warga Negara yang baik saya harus mengapresiasi stasiun televisi yang memberikan porsi lebih untuk pesta demokrasi kali ini, mungkin itu artinya kita lebih peduli kepada masa depan bangsa ini dibandingkan dengan Piala Dunia yang kita ikut saja tidak. 

Tentang Pilpres dan Sepak Bola

Keduanya sama-sama punya penggemar, keduanya sama-sama dibagi menjadi beberapa kubu, keduanya sama-sama ada pihak yang kalah dan yang menang. Lalu apa bedanya?

Jawabannya, ada satu hal yang berbeda dan itu mutlak adanya.

Masih ingat pemilu 2004 dan 2009? Masih ingatkah kita betapa mayoritas masyarakat kita memuja-muja sang Jendral dengan segala daya upaya? Media pun juga ikut-ikutan lebay, atau malah media yang bikin masyarakat kita lebay waktu itu, entahlah yang jelas euphoria waktu itu juga luar biasa. Lalu apa yang terjadi sekarang? Apa yang kita lakukan pada si Jendral dengan kantung matanya yang terus menghitam?

Menghujatnya. Itulah yang kita lakukan sekarang.

Tidak ada musuh dan teman yang abadi dalam politik, begitu katanya

Jujur saja saya sedih melihat kenyataan ini, bagaimanapun juga beliau adalah presiden kita. Saya mengatakan ini bukan karena saya pendukungnya. Waktu pemilu 2009, sebenarnya saya mau coblos capres yang lain tapi krn permintaan sang Ibu yang waktu itu nggondok akhirnya saya pilih si Jendral. Bagi saya waktu itu sama saja, toh si Jendral juga bakalan menang meskipun nggak saya pilih karena hasil pemilu saat itu tidak “segelap” pemilu kali ini. Coblosan saat itu murni karena ingin menyenangkan hati Ibu, maklum Ibu saya fan fanatic si Jendral mungkin kadar nge-fansnya sama kayak saya nge fans Joong Ki, hihihi. Sementara si Bapak tetap nyoblos capres lain yang sebenarnya sama kyk pilihan saya. Dan Alhamdulillah Ibu tetap setia mengagumi si Jendral di tengah hiruk pikuk hujatan masyarakat dan media saat ini.

Lalu bagaimana dengan sepak bola?

Fanatisme pecinta bola jauh berbeda dengan fanatisme politik, jika di dunia politik tidak ada musuh dan kawan yang abadi maka sepak bola sebaliknya. Penggemar bola biasanya konsisten menjadi penggemar klub tertentu. Menang atau kalah mereka tetap menjadi penggemar klub tersebut. Konsistensi ini yang membedakan antara politik dan sepak bola.

Menyambut pesta demokrasi kita kali ini (pilpres) dan piala dunia, ada satu hal lagi yang berbeda dari keduanya. Kemenangan tim favorit kita di piala dunia adalah akhir dari perjuangan karena setelah juara piala dunia tahun 2014, tugas mereka selesai sampai disana. Mereka juara, titik. Tapi kemenangan salah satu calon presiden bukanlah akhir dari segalanya, kemenangan ini justru titik awal perjalanan dan perjuangan bangsa ini. Dari titik inilah semuanya dimulai, bahkan kita punya tugas yang lebih berat dari sekedar membela mati-matian capres sebelum hari pencoblosan sampai mencoblos gambarnya di bilik suara.

Tugas yang sebenarnya baru dimulai setelah itu, siapapun yang terpilih kita punya tugas yang sama yaitu mengawasi calon terpilih nanti. Sebenarnya tugas terpenting adalah menjadi warga negara yang bukan hanya sekedar baik tapi juga kompeten, tapi saya yakin teman-teman sudah memulainya dari sekarang bukan? Dari perdebatan pilpres ini saja saya liat banyak dari masyarakat Indonesia yang punya wawasan luas.

Kadang agak terganggu dengan pertengkaran soal pilpres, tapi disisi lain saya juga senang. Kalau mengambil sisi positifnya, bukankah tanpa kita sadari pengetahuan kita bertambah seiring perhelatan pilpres ini? Banyak yang mendadak paham soal HAM, Laut China Selatan, Tank, sejarah Indonesia dan pengetahuan yang lain. Bukankah begitu :p

Yang jelas apapun pilihan kita dan siapapun presiden terpilih nanti, jangan biarkan ia berjuang sendirian.

Tag : Daily

0 comments :: Politik Itu Bukan Sepakbola, Bung!

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar...